Jumat, 31 Mei 2013

Biografi Hamid Jabbar

Nama :
Hamid Jabbar

Lahir :
Koto Gadang, Sumatera Barat, 27 Juli 1949

Wafat :
Jakarta, 29 Mei 2004

Pendidikan :
SMA III Bandung 1970

Profesi :
Sastrawan,
Wartawan Indonesia Ekspress,
Wartawan Singgalang,
Redaktur Balai Pustaka,
Redaktur Senior Majalah, Sastra Horison,
Sekretaris Dewan Kesenian Jakarta

Karya :
Paco-paco (1974),
Dua Warna (1975),
Wajah Kita (1981),
Super Hilang Segerobak Sajak (1998)

Penghargaan :
Hadiah Yayasan Buku Utama,
Penghargaan Seni dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa

Memaparkan sosok Hamid Jabbar, tidak cukup hanya postur tubuhnya yang tidak tinggi. Pikiran-pikiran Hamid Jabbar, sangat panjang, jalannya pun gesit, gelagatnya jika bicara, mirip B.J. Habibie. Sewaktu masih sekolah di Sekolah Rakyat, ia suka memperhatikan lingkungan. Ngarai Sianok, yang setiap hari dilewatinya ke sekolah, menimbulkan keinginannya untuk mengungkapkan sesuatu. Tapi di waktu itu ia belum mengerti bagaimana caranya. Seringkali ia duduk di pinggir ngarai sambil melepas lelah setelah jalan kaki.

Tidak mengira kekagumannya itulah yang mengantarkan menjadi penyair. Dulunya ia menulis bukan untuk dimuat di majalah atau koran. Ia menulis apa saja, lalu disimpan dalam map. Tiga tahun ia menjalani hal itu. “Kalau menulis, jangan pikirkan dimuat di mana. Tulis saja apa yang terasa. Lalu simpan”, kata Hamid. Semenjak berada di Sukabumi, tempat pelariannya dari kampung, Hamid mulai mencoba menggoreskan penanya di lembaran putih. Tulisannya dipengaruhi oleh pengamatannya pada lingkungan waktu itu. Keadaan ekonomi semrawut. Kemiskinan terjadi dimana-mana. Akhirnya ia memilih keluar dari SMA Kristen. Kemudian bergabung dengan Ikatan Aksi Pelajar Indonesia (IKAPI). Waktunya lebih banyak digunakan untuk berorganisasi. Karena kehebatannya dalam organisasi, Sekretaris Jendral IKAPI, waktu itu di bawah induknya IKAPPI, pernah dijabatnya. Dibawah kepemimpinannya IKAPI pisah dengan IKAPPI.

Namanya semakin dikenal dikalangan pelajar dan guru-guru. Salah seorang Kepala sekolah SMA di Bandung lalu menyarankan agar ia kembali ke sekolah. Akhirnya ia duduk di kelas III SMA Negeri Bandung. Walaupun sibuk dalam organisasi, menulis yang dimulainya sewaktu di SMA Kristen, tetap dilakukannya. Di sekolahnya yang baru, ia mencoba menulis di majalah sekolah. Pada 1970, setelah drop-out, ia kemudian mengikuti ujian ‘estranai’. Cukup lama perjalanan hidupnya sebelum akhirnya berhasil mengantongi ijazah SMA. Sebelum sajak-sajaknya menghiasi majalah Horison, ia pernah menulis di koran daerah. Ketika ia kembali ke kampung halaman. Mulanya ia enggan pulang, namun karena ingin menjadi seniman, tentu harus tahu adat dan tradisi daerah asalnya. Walaupun pernah kerja di PN Panca Niaga, ia akhirnya kembali ke rantau.

Menurut penyair yang pernah mengunjungi Irak, Singapura, Malaysia, dan megara lain di kawasan Asia ini, di daerah penghargaan terhadap tulisan masih kecil. Tulisannya tidak saja sajak. Cerpen dan cerita bersambung juga pernah dimuat di media ibukota dan daerah. Dua kumpulan sajaknya telah dibukukan. Dua Warna”diterbitkan tahun 1974 dan Wajah Kita”pada tahun 1981. ia juga sering diundang untuk membacakan puisi dan sajak karangannya. Dia pernah menyayangkan jika manusia hanya menjadimassa. Karena dalam massa, kesadaran setiap orang akan sangat rendah. “Bukan bermaksud merendahkan organisasi yang mengutamakan massa. Namun, kenyataannya organisasi yang meletakkan esensi kekuatan pada massa, akan membiasakan setiap orang berada dalam kesadaran yang rendah”.

“Lain dengan kesenian yang berusaha membentuk kepribadian setiap personal, yang berusaha menyeimbangkan diri manusia sebagai hamba dan khalifatullah”, cetus Hamid. “Dengan seni akan dicapai keseimbangan antara harga diri yang berlebihan, hanya akan membuat orang menjadi egois, sedangkan tahu diri yang berlebihan condong membuat orang jadi budak. “Manusia mandiri harus bisa menyeimbangkan antara harga diri dan tahu diri”, lanjutnya. Bang Hamid begitu kawan-kawan sastrawan biasa memanggilnya, meninggal dengan indah pada saat menunaikan tugas mulianya sebagai penyair, yang membaca puisinya sendiri pada acara seni untuk perdamaian di Universitas Islam Negeri Syarief Hidayahtullah Jakarta, Sabtu 29 Mei 2004, pukul 23.00 wib, bertepatan dengan malam Hari Raya Saraswati. Spirit perjuangannya tetap akan melekat dalam jiwa aktivis kampus. Akan selalu menjadi bara api revolusi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar