Nama :
Hamid Jabbar
Lahir :
Koto Gadang, Sumatera Barat, 27 Juli 1949
Wafat :
Jakarta, 29 Mei 2004
Pendidikan :
SMA III Bandung 1970
Profesi :
Sastrawan,
Wartawan Indonesia Ekspress,
Wartawan Singgalang,
Redaktur Balai Pustaka,
Redaktur Senior Majalah, Sastra Horison,
Sekretaris Dewan Kesenian Jakarta
Karya :
Paco-paco (1974),
Dua Warna (1975),
Wajah Kita (1981),
Super Hilang Segerobak Sajak (1998)
Penghargaan :
Hadiah Yayasan Buku Utama,
Penghargaan Seni dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa
Memaparkan sosok
Hamid Jabbar, tidak cukup hanya postur tubuhnya yang tidak tinggi.
Pikiran-pikiran Hamid Jabbar, sangat panjang, jalannya pun gesit, gelagatnya
jika bicara, mirip B.J. Habibie. Sewaktu masih sekolah di Sekolah Rakyat, ia
suka memperhatikan lingkungan. Ngarai Sianok, yang setiap hari dilewatinya ke
sekolah, menimbulkan keinginannya untuk mengungkapkan sesuatu. Tapi di waktu
itu ia belum mengerti bagaimana caranya. Seringkali ia duduk di pinggir ngarai
sambil melepas lelah setelah jalan kaki.
Tidak mengira
kekagumannya itulah yang mengantarkan menjadi penyair. Dulunya ia menulis bukan
untuk dimuat di majalah atau koran. Ia menulis apa saja, lalu disimpan dalam
map. Tiga tahun ia menjalani hal itu. “Kalau menulis, jangan pikirkan dimuat di
mana. Tulis saja apa yang terasa. Lalu simpan”, kata Hamid. Semenjak berada di
Sukabumi, tempat pelariannya dari kampung, Hamid mulai mencoba menggoreskan
penanya di lembaran putih. Tulisannya dipengaruhi oleh pengamatannya pada
lingkungan waktu itu. Keadaan ekonomi semrawut. Kemiskinan terjadi dimana-mana.
Akhirnya ia memilih keluar dari SMA Kristen. Kemudian bergabung dengan Ikatan
Aksi Pelajar Indonesia (IKAPI). Waktunya lebih banyak digunakan untuk
berorganisasi. Karena kehebatannya dalam organisasi, Sekretaris Jendral IKAPI,
waktu itu di bawah induknya IKAPPI, pernah dijabatnya. Dibawah kepemimpinannya
IKAPI pisah dengan IKAPPI.
Namanya semakin
dikenal dikalangan pelajar dan guru-guru. Salah seorang Kepala sekolah SMA di
Bandung lalu menyarankan agar ia kembali ke sekolah. Akhirnya ia duduk di kelas
III SMA Negeri Bandung. Walaupun sibuk dalam organisasi, menulis yang
dimulainya sewaktu di SMA Kristen, tetap dilakukannya. Di sekolahnya yang baru,
ia mencoba menulis di majalah sekolah. Pada 1970, setelah drop-out, ia kemudian
mengikuti ujian ‘estranai’. Cukup lama perjalanan hidupnya sebelum akhirnya
berhasil mengantongi ijazah SMA. Sebelum sajak-sajaknya menghiasi majalah
Horison, ia pernah menulis di koran daerah. Ketika ia kembali ke kampung
halaman. Mulanya ia enggan pulang, namun karena ingin menjadi seniman, tentu
harus tahu adat dan tradisi daerah asalnya. Walaupun pernah kerja di PN Panca Niaga, ia akhirnya kembali ke rantau.
Menurut penyair yang
pernah mengunjungi Irak, Singapura, Malaysia, dan megara lain di kawasan Asia ini, di daerah penghargaan terhadap tulisan masih kecil. Tulisannya tidak
saja sajak. Cerpen dan cerita bersambung juga pernah dimuat di media ibukota
dan daerah. Dua kumpulan sajaknya telah dibukukan. Dua Warna”diterbitkan tahun
1974 dan Wajah Kita”pada tahun 1981. ia
juga sering diundang untuk membacakan puisi dan sajak karangannya. Dia pernah
menyayangkan jika manusia hanya menjadimassa. Karena dalam massa, kesadaran setiap orang akan sangat rendah. “Bukan bermaksud
merendahkan organisasi yang mengutamakan massa. Namun, kenyataannya organisasi yang meletakkan
esensi kekuatan pada massa, akan membiasakan setiap orang berada dalam
kesadaran yang rendah”.
“Lain dengan kesenian
yang berusaha membentuk kepribadian setiap personal, yang berusaha menyeimbangkan diri manusia sebagai hamba dan khalifatullah”, cetus Hamid.
“Dengan seni akan dicapai keseimbangan antara harga diri yang berlebihan, hanya
akan membuat orang menjadi egois, sedangkan tahu diri yang berlebihan condong
membuat orang jadi budak. “Manusia mandiri harus bisa menyeimbangkan antara
harga diri dan tahu diri”, lanjutnya. Bang Hamid begitu kawan-kawan sastrawan
biasa memanggilnya, meninggal dengan indah pada saat menunaikan tugas mulianya
sebagai penyair, yang membaca puisinya sendiri pada acara seni untuk perdamaian
di Universitas Islam Negeri Syarief Hidayahtullah Jakarta, Sabtu 29 Mei 2004,
pukul 23.00 wib, bertepatan dengan malam Hari Raya Saraswati. Spirit
perjuangannya tetap akan melekat dalam jiwa aktivis kampus. Akan selalu menjadi
bara api revolusi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar